Kamis, 13 Februari 2014

Sejarah Al Qur’an

  1. Sejarah Al Qur’an Pada Masa Rasulullah
Pada zaman Rasulullah SAW dan pemerintahan Abu Bakar dan Umar, ilmu-ilmu Al-Quran belum dibukukan, karena umat islam belum memerlukannya. Sebab umat islam pada waktu itu adalah bangsa Arab asli sehingga mereka mampu memahami Al-Qur’an dengan baik, karena bahasa Al-Qur’an adalah bahasa mereka sendiri dan mereka mengetaahui sebab-sebab turunnya Al-Qur’an. Oleh karenanya jarang sekali sahabat yang bertanya kepada Nabi tentang maksud-maksud ayat.
Ayat Al-Qur’an tidak dikumpulkan atau dibukukan seperti sekarang. Karena disebabkan beberapa faktor, maka ayat Al-Qur’an mulai dikumpulkan atau dibukukan, yaitu dikumpulkan dalam satu mushaf. Pengumpulan Al-Qur’an pada masa nabi hanya dilakukan pada dua cara yaitu dituliskan pada benda-benda seperti yang terbuat dari kulit binatang, batu yang tipis dan licin, pelepah kurma, tulang binatang dan lain-lain. Tulisan-tulisan dari benda-benda tersebut dikumpulkan untuk Nabi dan beberapa diantaranya menjadi koleksi para sahabat yang pandai baca tulis.
Rasulullah telah mengangkat para sahabat-sahabat terkemuka untuk menulis wahyu Al-Qur’an, yaitu: Ali, Muawiyah, Ubai bin K’ab dan Zaid bin Sabit, jika ayat turun ia memerintahkan mereka menulis dan menunjukan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembar itu membantu penghafalan didalam hati. Sebagian sahabat menuliskan Al-Qur’an yang turun itu atas kemauan sendiri, tanpa diperintah nabi.
Al-Qur’an turun kepada Nabi yang Ummi (tidak bisa baca-tulis) dan diutus Allah di kalangan orang-orang yang Ummi. Karena itu perhatian Nabi hanyalah menghafal dan menghayati agar beliau dapat menguasai Al-Qur’an yang diturunkan. Rasulullah sangat menyukai wahyu, beliau senantiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya. Seperti yang dijanjikan Allah:

Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya (al-Qiyamah: 17).
Proses turunnya Al-Qur’an terkadang turun hanya satu ayat dan kadang sampai sepuluh ayat. Setiap kali ayat turun kemudian dihafal didalam dada dan ditempatkan dalam hati. Bangsa arab secara kodratnya memunyai daya hafal yang kuat, karena umumnya mereka buta huruf.
  1. Pengumpulan Al-Qur’an
Ali bin Abi Thalib sebagai pengumpul pertama al Qur`an pada masa Nabi berdasarkan perintah Nabi sendiri. Di kalangan Syi`ah menegaskan Ali bin Abi Thalib sebagai orang pertama yang mengumpulkan al Qur`an setelah wafatnya Nabi. Sumber-sumber Sunni juga mengungkapkan bahwa Ali memiliki kumpulan al Qur`an. Di kalangan ortodok Islam, pengumpula al Qur`an dapat dilakukan secara resmi pada masa pemerintahan Abu Bakar al- Shiddiq. Al Khatthabi berkata, “ Rasulullah tidak mengumpulkan al Qur`an dalam satu mushaf karena senantiasa menunggu ayat yang menghapus terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rasulullah maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para Khulafaur Rasyidin sesuai dengan janji-Nya yang benar kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya”.
Pengumpulan pada masa Nabi cuma bisa dengan cara menghafal. Rasulullah sangat menyukai wahyu ia senantias menunggu turunnya wahyu dengan rasa rindu, lalu pada saat wahyu itu turun, Rasul langsung menghaal dan memahaminya.
Oleh sebab itu, ia adalah Hafidz (penghafal) pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya, sebagai realisasi kecintaan mereka kepada pokok masalah dan risalah. Setiap kali ayat turun, dihafal dan di temptkan dalam hati, sebab bangsa arab secara kodrati mempunyai hafalan yang kuat.
Pada setiap kali Rasulullah menerima wahyu yang berupa ayat-ayat Al-Qur’an beliau membacanya didepan para sahabat, kemudian para sahabat menghafalkan ayat-ayat tersebut sampai hafal di luar kepala. Namun kemudian beliau menyuruh kuttab (penulis wahyu) untuk menuliskan ayat-ayat yang baru di terimanya itu. Mereka yang termasyhur adalah; Abu Bakar, Umar bin khatab, ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin khaab, zayd bin tsabit, az-zubayr bin Awwam, Mu’awiyah bin Abi sufyan, Al-arqam bin maslamah, Muhammad bin Maslamah, Abban bin Sa’it bin AL-‘As, Maslamah bin khalid, qais bin Shasha’ah, Tamim Al-Dari, Salamah bin Makhlad, Abu Musa AL-Asy’ari, Uqbah bin Amir, Ummu faraqah binti Abdillah binti Harits.
  1. Perkembangan Al-Qur’an
Pada masa nabi ilmu-ilmu al-quran belum di bukukan, karena umat islam belum memerlukannya serta ulumul quran masih belum ada, sebab pada waktu itu Rasulullah SAW masih hidup, sehingga jika terdapat suatu pertanyaan atau permasalahan mengenai al-Quran bisa ditanyakan langsung kepada Rasul kemudian diingat dalam pikiran dan hati para sahabat. Selain alasan di atas, belum adanya kebutuhan untuk menulis kitab-kitab tentang ulumul quran merupakan alasan di balik belum munculnya ulumul quran pada masa Nabi. Terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.

  1. PENULISAN AL-QUR`AN


  • Pada Masa Rasulullah
Ketika diturunkan satu atau beberapa ayat, Rasul saw langsung menyuruh para sahabat untuk menghafalkannya dan menuliskannya di hadapan beliau. Rasulullah mendiktekannya kepada para penulis wahyu. Para penulis wahyu menuliskannya ke dalam lembaran-lembaran yang terbuat dari kulit, daun, kaghid, tulang yang pipih, pelepah kurma, dan batu-batu tipis.
Mengenai lembaran-lembaran ini Allah SWT berfirman:
Rasuulun minallaaHi yatluu shuhufan muthaHHarah
Artinya:
(yaitu) seorang utusan Allah (yakni Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (al-Qur`an) (QS. Al-Bayyinah [98]: 2)
Rasulullah saw mengizinkan kaum muslimin untuk menuliskan al-Qur`an berdasarkan apa yang beliau diktekan kepada para penulis wahyu. Rasulullah saw bersabda:
Laa taktubuu ‘annii, wa man kataba ‘annii ghairal qur`aani falyamhuHu
Artinya:
Janganlah kalian menulis dari aku. Barangsiapa yang telah menulis dari aku selain al-Qur`an hendaknya ia menghapusnya. (HR. Muslim)
Rasulullah saw tidak khawatir dengan hilangnya ayat-ayat al-Qur`an karena Allah telah menjamin untuk memeliharanya berdasarkan nash yang jelas:
Innaa nahnu nazzalnadz dzikra wa innaa laHu lahaafizhuun
Artinya:
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur`an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr [15]:9)
Rasulullah saw gembira dan ridha dengan al-Qur`an sebagai mukjizat terbesarnya yang dapat digunakan sebagai hujjah terhadap orang-orang Arab maupun orang-orang di seluruh dunia.
Ketika Nabi saw wafat, al-Quran secara keseluruhan sudah tertulis pada lembaran-lembaran, tulang-tulang, pelepah kurma, dan batu-batu tipis, dan di dalam hafalan para sahabat ra.
  • Pada Masa Khalifah Abu Bakar r.a
Setelah Nabi Muhammad SAW. wafat dan Abu Bakar diangkat sebagai Khalifah maka banyak terjadi gerakan-gerakan yang menimbulkan perpecahan dan meresahkan umat islam, seperti gerakan keluar dari agama Islam yang dipimpin Musailamah Alkadzab, yang umat Islam sendiri dipimpin oleh Khalid bin Walid,  maka terjadilah peperangan, Setelah pertempuran Aqraba pada tahun 632 M, banyak penghafal Qur’an terbunuh. Sehingga Umar bin Khattab menyarankan kepada Abu Bakar suatu kebutuhan untuk menyusun Qur’an dalan suatu standard teks.
Pada mulanya usul Umar ini ditolak oleh Abu Bakar karena alasan hal tersebut tidak pernah dilakukan Nabi. Itu Bid’ah, katanya. Tapi setelah diyakinkan Umar atas manfaatnya bagi umat Islam, Abu Bakar setuju. Abu Bakar kemudian memerintahkan penyusunan agar dibuat oleh Zaid Ibn Thabit dari tulisan-tulisan yang ditulis pada daun palem, batu dan juga dari orang-orang yang hafal isi Alquran diluar kepala yang masih tersisa.
Dalam perang itu menimbulkan banyak korban dari pihak Islam yaitu 70 orang sahabat yang hafal Alquran terbunuh kemudian setelah kejadian itu mendorong umat agar Abu Bakar membukukan alquran dan kemudian diutuslah Zaid bin Tsabit sebagai penulis penghimpun Alquran.

Dalam melaksanakan tugasnya Zaid bin Tsabit berpegang pada 2 hal yaitu:

1. Ayat ayat Alquran yang ditulis pada masa Nabi Muhammad SAW disimpan di rumah beliau.
2.   Ayat ayat Alquran yang dihapal oleh para Sahabat lainnya yang hafidz Alquran.

 Zaid tidak  mau menerima tulisan ayat ayat Alquran, kecuali disaksikan oleh 2 orang saksi yang adil  dan meyakini bahwa ayat itu benar benar ditulis dihadapan Nabi Muhammad dan atas perintah dan petunjuknya.

Pengumpulan mushaf pada saat Abu Bakar dan dilanjutkan oleh Umar saat menjadi khalifah (kalifah kedua, 634-644 M), belum merupakan usaha kodifikasi yang serius. Mereka hanya mengumpulkan fragmen-fragmen Qur’an yang berserakan dari para sahabat, tetapi belum menyusunnya ulang dalam satu bentuk mushaf Qur’an yang utuh.


  • Pada Masa Khalifah Utsman bin Affan r.a
Sahabat Hudzaifan pada masa pemerintahan Utsman menyarankan kepada beliau agar segera mengusahakan penyeragaman bacaan Alquran dengan cara penyeragman penulisannya. Hal itu disebabkan oleh perbedaan tentang bacaan Alquran.

   Utsman dapat menerima pemahaman atas usul Hudzaifah, kemudian di bentuk panitia yang terdiri dari 4 orang, yakni  terdiri dari:
1. Zaid bin Tsabit
2. Sa’id bin Ash
3. Abdullah bin Zubair
4. Abdurrahman bin Harits.
5. Ubay ibn Ka’ab.
6. Anas ibn Malik.
7. Abdullah Ibn Abbas
8. Malik Ibn Abi ‘Amir
9. Katsir Ibn Aflah


   Perbedaan pengumpulan mushaf Alquran pada masa Abu Bakar dan Ustman ada dalam hal motif dan caranya. Motif pengumpulan Alquran pada masa Abu Bakar adalah kehawatiran akan hilangnya Alquran karena banyak nya para huffadz yang gugur dalam peperangan, sedangkan motif pada masa Utsman adalah karena banyaknya perbedaan cara membaca Alquran, sedangkan dalam perbedaan dari segi cara, yaitu pada masa Abu Bakar ialah memindahkan tulisan atau catatan Alquran yang semula bertebaran pada kulit binatang, tulang, pelepah kurma dsb. kemudian dikumpulkan dalam mushaf dengan ayat dan surat yang tersusun serta terbatas pada bacaan yang tidak dimansuhk dan mencakup ke tujuh huruf (dialek) sebagai mana Alquran diturunkan. sedang cara pengumpulan yang dilalukan pada masa Utsman adalah menyalinnya dalam satu dialek dengan tujuan  untuk mempersatukan kaum muslimin.


  • Penyempurnaan Penulisan Al-quran Setelah Masa Khulafa Al-Rasyidin
Pada masa setelah khulafa Al – Rasyidin penulisan Al – Qur’an mengalami penyempurnaan dalam penulisannya, diantaranya :
1.Mushaf Utsmani itu tidak memakai tanda baca, baik titik maupun syakal, karena    semata mata di dasarkan pada watak pembawaan orang orang Arab yang masih murni.

2. Tetapi ketika Islam telah tersebar luas dan Alquran dibaca dan dipelajari umat Islam di luar orang Arab, maka para penguasa pada saat itu merasa perlu untuk mengadakan perbaikan dan penyempurnaan penulisan mushaf dengan menggunakan syakal, titik dll. orang yang pertama melakukan perbaikan terhadap penulisan Alquran, menurut pendapat sebagian ulama adalah Abdul Aswad Ad Duali (ulama ahli bahasa) atas perintah Ziad (Gubernur Basroh), masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

3.Sebab sebab pembuatan tanda baca Alquran adalah ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan mengajak bicara Abdullah bin Ziad (putra Ziad). namun pembicaraan Abdullah bin Ziad banyak yang salah dan kemudian mendapat teguran dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan.  dari teguran itu lah Ziad menyuruh kepada Abdul Aswad Ad Duali untuk memberi tanda baca.

4. Kemudian Abdul Aswad Ad Duali memerintahkan kepada laki-laki dari Qabilah Quraisy, dia menyuruh untuk memberi tanda baca dengan warna yang berbeda dengan tulisan mushaf, yaitu jika membuka bibir maka berilah tanda titik di atas huruf nya dengan sebuah titik, bila mendomahkannya dalam  (monyong) maka berilah tanda titik di depan huruf nya, bila mengkasrahkan (pecah) maka berilah tanda titik di bawahnya, bila membacakan suara tanwin maka berilah dua titik.

5. Akan tetapi tanda tanda baca yang di buat Abdul Aswad Ad Duali belum dapat menghindari kecederaan dalam membaca Alquran,  oleh sebab itu disempurnakanlah oleh Nashr bin Ashim yang kemudian di sempurnakan lagi oleh Khalil bin Ahmad (Ulama Abasiyah) dengan cara memberi tanda fatah denganا kecil, domah denganوkecil, kasrah denganىkecil ( yang dikenal dengan syakal), kemudian tasdyid dengan kepalaسdan tanda sukun dengan kepala" ه "  dsb.

6. Kemudian secara bertahap orang-orang mulai meletakan nama-nama surat dan bilangan ayat dan rumus-rumus yang menunjukan kepala ayat dan tanda-tanda wakof. tanda wakof ladzim dengan ( م ),  wakof mam’nu ( لا ),  wakof jaiz ( ج ), lalu pembuatan tanda juz, tanda hizb dan penyempurnaan lainnya.



  1. Berbagai Versi Mushaf pada masa sahabat

Beberapa mushaf yang sempat terekam dalam sejarah adalah mushaf milik Ubay bin Ka’ab, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ali bin Abi Thalib, dan Hafsah istri Nabi.Mushaf-mushaf itu memiliki jumlah dan susunan ayat yang berbeda. Sebagai misal Mushaf Ubay memiliki 115 surah, Mushaf Ibn Mas’ud memiliki 108 surah, Mushaf Ibn Abbas 116 surah.
Perbedaan ini terekam dari komplain Aisyah istri Nabi yang dikutip Jalaluddin Al-Suyuthi dalam kitab al-Itqan sebagai berikut: “pada masa Muhammad surah al-Ahzab berjumlah 200 ayat. Setelah Usman melakukan kodifikasi, jumlahnya menjadi seperti sekarang yakni 73 ayat.”Pada Mushaf Ibn Abbas juga ada dua surah yang yang tidak disertakan dalam Mushaf Usmani yaitu al-Khal dan al-Hafd.
Di samping itu, banyak sahabat yang mencatat ayat-ayat al-Qur’ān sejak masa Nabi, bahkan mereka mengumpulkannya dan menjadikannya sebagai mushaf. Catatan-catatan tersebut mereka simpan untuk mereka masing-masing, atau untuk mereka gunakan dalam pengajaran agama Islam. Mushaf-mushaf yang terkenal a.l. mushaf Ali bin Abi Thalib, mushaf Ubay bin Ka’ab, mushaf Abdullah ibn Mas’ud, mushaf Zaid ibn Tsabit, dll.
Masing-masing versi mushaf memiliki perbedaan, banyak atau sedikit, sebagai berikut:
1. Mushaf Ali bin Abi Thalib
Mushaf Ali bin Abi Thalib memiliki ciri khusus yang tidak dimiliki oleh mushaf lainnya. Karakter khusus mushaf ini adalah:
a. Ayat dan surat tersusun rapi sesuai dengan urutan turunnya, maka ayat-ayat makkiyah diletakkan sebelum ayat-ayat madaniyah, ayat-ayat yang turun masa awal diletakkan lebih dahulu dari pada ayat-ayat yang turun belakangan.
b. Bacaan yang tercantum dalam mushaf ini lebih mendekati keaslian sehingga lebih sesuai dengan bacaan Rasul;
c. Ada catatan tanzil dan takwil di tepi mushaf yang menjelaskan situasi dan kondisi serta latar belakang ayat-ayat al-Qur’an diturunkan. Penjelasan ini sangat berguna dalam menggali maksud ayat-ayat al-Qur’an diturunkan serta menyingkap makna-makna ayat yang masih samar.
Dari mushaf Ali ini sebenarnya banyak manfaat yang dapat digali, antara lain dapat diketahui perjalanan tasyri’ hukum, proses gradualisasi dakwah, dan pentahapan ajaran Islam, demikian pula proses nasikh dan mansukh dalam al-Qur’an. Seandainya mushaf Ali ibn Abi Thalib ini masih ada saat ini tentu akan banyak problem dalam memahami al-Qur’an akan teratasi.

2. Mushaf Ibn Mas’ud
Mushaf Ibn Mas’ud memiliki ciri yang juga berbeda dari mushaf lainnya, yaitu:
a. Hanya memuat 111 surat dan minus surat al-Fatihah dan al-Mu’awwizatain (surat al-Falaq dan an-Nas).
b. Kata-kata dalam ayatnya banyak berbeda dengan kebanyakan catatan sahabat lain, karena menurutnya kata-kata al-Qur’ān boleh diganti dengan sinonimnya, baik untuk lebih menjelaskan maknanya, atau agar mudah dibaca orang suku tertentu.
c. Sebagian kata dalam ayat diganti dengan kata lain dengan maksud agar lebih jelas. Misalnya kata shauman (puasa) dalam surat Maryam ayat 26 diganti shamtan (diam), karena meksud ayat tersebut adalah nazar berpuasa untuk diam tidak berkata-kata.

3. Mushaf Ubay ibn Ka’ab:
a. Urutan surat berbeda dengan urutas mushaf Utsmani.
b. Jumlah surat lebih banyak, dengan tambahan surat al-Khal’u dan al-Hafdu yang keduanya memuat doa qunut, karena menurut Ubay kedua doa tsb termasuk yang diwahyukan.
     Doa Khal’u sbb:

اللهم انا نستعين بك ونستغفرك و نثني عليك الخير ولا نكفرك ونخلع

                                  Doa Khafdhu sbb:

بسم االله الرحمن الرحيم اللهم اياك نعبد ولك نصلي ونسجد واليك نسعى ونخفض 

c. Surat al-Fiil dan al-Quraisy disatukan karena dianggap satu surat dan tidak dimulai dengan Basmalah.
d. Surat az-Zumar diawali dengan “Hamim”, sehingga dalam al-Qur’ān terdapat 8 surat yang dimulai dengan “Hamim”.
e. Dalam mushaf Ubay ini banyak terdapat bacaan yang berbeda dengan bacaan masyhur, seperti beberapa kata dalam ayat-ayat tertentu diganti dengan kata-kata lain yang dianggap sinonim dan maknanya tetap sama.


Masih banyak mushaf lain yang krang terkenal, yang juga berbeda jika dibandingkan dengan mushaf Utsmani a.l. mushaf ‘Aisyah dan mushaf Anas ibn Malik.
Bentuk-bentuk perbedaan di antara mushaf sahabat berupa sistem penulisan, susunan/urutan, bacaan, jumlah surat dan ayat, serta tambahan atau pengurangan tertentu.
Demikianlah para sahabat memiliki mushaf masing-masing. Sahabat yang tidak memiliki catatan akan meminta bantuan agar dibuatkan sebuah naskah mushaf sesuai dengan yang diinginkan. Wilayah Islam yang semakin luas menyebabkan semakin banyak jumlah dan macam-macam mushaf. Apalagi kebutuhan umat Islam terhadap al-Qur’ān semakin meningkat. Perbedaan antar mushaf di atas disebabkan banyak faktor. Di samping memang banyak yang tidak memiliki hubungan kegiatan dan kerjasama dalam penulisan, sebab lainnya adalah karena perbedaan kemampuan dalam kegiatan penulisan, sehingga menyebabkan perbedaan dalam sistem, bacaan, susunan, dll.
Walaupun demikian, masing-masing mushaf di atas mendapatkan penghormatan tinggi di dunia Islam saat itu, sesuai dengan domisili sahabat yang menulis mushaf atau umat Islam yang mempelajarinya. Mushaf Abdullah ibn Mas’ud, misalnya, menjadi rujukan penduduk Kufah. Contoh lain adalah mushaf Ubay ibn Ka’ab yang banyak dipelajari dan dirujuk oleh penduduk Madinah. Demikian pula mushaf Abu Musa al-Asy’ari di Basrah dan Mushaf Miqdad ibn al-Aswad di Damaskus.

  1. Penyeragaman dan standarisasi Mushaf al-Qur’an

Dalam perkembangannya pada masa belakangan, jauh setelah era Nabi dan sahabat besar, perbedaan mushaf di atas menyebabkan sering terjadi perselisihan di kalangan masyarakat muslim yang fanatis terhadap mushaf dengan berbagai bacaan atau urutan surat yang ada di dalamnya. Tidak jarang satu sama lain sering saling menyalahkan, dan mengklaim bacaan al-Qur’ān versi mereka sebagai bacaan paling benar. Bahkan terjadi umat Islam yang salat berkelompok-kelompok  dalam satu masjid, sesuai dengan bacaan mushaf masing-masing. Situasi demikian berpotensi terjadinya perpecahan di antara umat Islam.
Catatan penting memperlihatkan perselisihan bahkan konflik banyak terjadi di kalangan orang-orang yang tidak tahu dengan sejarah masa Nabi dan sahabat. Padahal pada masa awal itu, pembacaan al-Qur’ān dan penulisannya sangat fleksibel dan moderat. Namun bagi orang belakangan yg tidak menyadari kelonggaran pada masa awal Islam dan kurangnya pengetahuan justru menganggapnya masalah dan perpecahan. Kondisi perbedaan demikian, terutama terjadi di daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan di Madinah atau di Makkah, atau di kalangan umat Islam yang banyak masih baru memeluk Islam atau jarang bertemu dengan banyak sahabat Nabi yang lain. Misalnya dalam peperangan di Armenia, umat Islam bertengkar karena dalam salat ada yang membaca “Wa atimmul hajja wal ‘umrata lillah” dan ada yang membaca “Wa atimmul hajja wal ‘umrata lil bait”.
Situasi demikan, mendorong Huzaifah al-Yamani mengusulkan kepada Khalifah Utsman ibn ‘Affan agar menyatukan semua mushaf yang ada dan membaca mushaf tersebut hanya dengan satu macam bacaan. Dalam suatu riwayat dinyatakan bahwa para sahabat setuju dengan gagasan itu kecuali Ibn Mas’ud yang menolaknya.
Komite penyeragaman mushaf lalu dibentuk oleh Utsman di bawah pimpinan Zaid ibn Tsabit, seorang yang dianggap paling bagus tulisannya dan tergolong muda saat itu. Sedangkan Ibn Mas’ud yang merasa lebih banyak mengetahui tentang seluk beluk al-Qur’ān jelas tidak setuju dengan penyeragaman, apalagi ketika ibn Tsabit yang ditunjuk sebagai ketua komite. Ibn Mas’ud menilai penyeragaman hanya akan mematikan keleluasaan dan kemudahan umat dalam membaca dan memahami al-Qur’an yang telah dibolehkan oleh Nabi SAW sejak masa awal. Namun karena keputusan akhir dan kekuasaan ada di tangah Khalifah Utsman, maka upaya penyeragaman mushaf al-Qur’an terus dijalankan. Untuk mempermudah dan memperketat hasil, maka kegiatan tersebut dibimbing oleh Ubay ibn Ka’ab, Malik ibn Abi ‘Amir, Anas ibn Malik, dll.
            Penyatuan mushaf ini mulai terjadi pada tahun 25 H, pada tahun ke 2 atau ke 3 dari kekhilafahan Utsman. Hasilnya adalah tersusunnya mushaf standar yang menjadi acuan satu-satunya bagi seluruh umat Islam. Mushaf standar ini dinamakan Mushaf Utsmani atau Mushaf al-Imam. Semua mushaf lainnya yang berbeda dari mushaf standar ini harus dimusnahkan dengan cara dibakar
Ciri-ciri mushaf Utsman adalah:
1. Susunannya seperti yang banyak beredar saat ini, hanya ada perbedaan sedikit dengan beberapa mushaf sahabat dalam susunan atau urutan surat. Misalnya jika mushaf sahabat lainnya meletakkan Surat Yunus masuk dalam tujuh surat besar dan di urutuan ke-7, maka mushaf Utsmani menggolongkannya ke dalam kelompok Ma’in. Ini menunjukkan bahwa susunan al-Qur’ān yang ada saat ini adalah hasil ijtihad sahabat, dan bukan tauqifi dari Allah SWT atau Nabi SAW.
2. Tanda baca seperti titik dan harakat tidak ada, sehingga masih sulit membedakan huruf dan tata bahasa (i’rab dan wazan kalimat). Beberapa contoh kesalahfahaman dalam bacaan kalimat misalnya:
-       Sulit dibedakan “yablu, nablu, tablu, tatlu, yatlu, natlu
-       Sulit membedakan “ya’lamuhu, ta’lamuhu, na’lamuhu, bi’ilmihi’, dll.
-       Maka ayat “litakuuna liman khalfaka ayatan” sering dibaca “litakuuna  liman khalaqaka ayatan”.
-       “Nunsyizuha, Nunsyiruha, Tunsyiruha”. (Al-Baqarah: 259)
-       “Yuallimuhu, nu’allimuhu, ya’lamuhu, na’lamuhu”( S. Ali ‘Imran: 48)
-       “Nunajjika” atau :Nunahhika” (Yunus 92).
-       “Lanubawwiannahum” atau “lanubawwiyannahum”.

3. Tata tulisan tidak konsisten sebagai akibat kesalahan dalam imla’ dan penulisananya, misalnya :

-      الكتاب   kadang ditulis dengan الكتب  
-      الرحمان  banyak ditulis dengan dengan الرحمن  
الصلو ة – الزكوة  ditulis menjadi الصلاة – الزكاة-
-       اختلاف اليل و النهار  menjadiاختلف اليل و النهار 
-       Ada penulisan “basthah” dengan huruf sin, ada pula penulisannya dengan huruf shad menjadi “Bashthah”, demikian pula pada kata “Yabsuthu” ditulis dengan “Yabshuthu”, dll

Menurut Subhi Salih, “Berbagai keganjilan penulisan di atas bukan perintah dari Nabi atau hal yang bersifat Tauqifi. Hal itu juga tidak sama dengan huruf-huruf Muqatha’ah di awal surat yang memang mengandung misteri dan mutawatir. Semua kesalahan itu memang dilakukan oleh tim penulis yang dibentuk Utsman, baik atas peresetujuannya dan sepengetahuannya atau tidak”.

  1. Respon Nabi SAW Terhadap Perbedaan Bacaan al-Qur’an.

Pembacaan al-Qur’ān pada masa Nabi saw ternyata sangat dinamis, ada toleransi keragaman dan perbedaan dalam huruf, bunyi, ucapan, kata bahkan juga tulisan, sepanjang tidak mengubah maksud dan tujuan ayat itu sendiri.
            Maka perbedaan dalam pembacaan dan pencatatan al-Qur’ān yang menimbulkan keragaman mushaf memang ada dan terjadi di kalangan sahabat. Data bukti tersebut ditemukan dalam banyak dokumen otentik, baik dari hadis maupun kutipan para ulama dalam berbagai kitab tafsir dan ulum al-Qur’ān.
Hadis riwayat Imam Muslim berikut ini menjelaskan keragaman bacaan di kalangan sahabat dan sikap toleran Nabi dalam meresponnya:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُا سَمِعْتُ هِشَامَ بْنَ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ عَلَى غَيْرِ مَا أَقْرَؤُهَا وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْرَأَنِيهَا فَكِدْتُ أَنْ أَعْجَلَ عَلَيْهِ ثُمَّ أَمْهَلْتُهُ حَتَّى انْصَرَفَ ثُمَّ لَبَّبْتُهُ بِرِدَائِهِ فَجِئْتُ بِهِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي سَمِعْتُ هَذَا يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ عَلَى غَيْرِ مَا أَقْرَأْتَنِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسِلْهُ اقْرَأْ فَقَرَأَ الْقِرَاءَةَ الَّتِي سَمِعْتُهُ يَقْرَأُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ لِي اقْرَأْ فَقَرَأْتُ فَقَالَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ [
                       
Hadis di atas secara tegas menunjukkan kebolehan berbeda dalam membaca al-Qur’an berdasarkan pernyataan Nabi yang berbunyi “ ... sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dengan tujuh macam huruf (tujuh macam bahasa Arab) maka bacalah dengan cara yang mudah“.
Hadis-hadis semakna dan searah dengan hadis di atas hampir bernilai mutawatir karena sangat banyak jumlahnya. Berbagai hadis tersebut secara jelas membolehkan pembacaan al-Qur’an dengan berbagai bahasa Arab yang ada saat itu, baik Arab Quraisy atau lainnya.

Para ulama memberikan makna “tujuh huruf” dengan makna beragam, yaitu makna:
1.    Bacaan (Qiraat) seperti pendapat Ibn al-Jazari, misalnya dalam ungkapannya “Penduduk Syam ketika membaca al-Qur’ān, membacanya dengan bacaan (biharfi) Ibn ‘Amir”. Menurut Khalil ibn Ahmad, pendapat yang mengartikannya sebagai qiraat atau cara bacaan adalah lemah.
2.    Makna atau arah (al-makna wal jihat) seperti pendapat Muhamaad ibn Sa’dan an-Nahawi (w. 231 H).
3.    Tujuh macam ilmu, terutama tauhid dengan berbagai cabangnya.
4.    Tujuh macam pemaknaan al-Qur’ān, yaitu muthlaq - muqayyad, ‘amm - khas, nasikh – mansukh, mujmal – mufassar, dll.
5.    Banyak (Tujuh) makna yang sama (sinonim) pada kata-kata yang berbeda-beda. Misalnya kata “marilah” dalam bahasa Arab dapat berupa “aqbil”, “halumma” atau “ta’aal). Kata “asri’” atau ‘ajjil bermakna cepat. Demikian pula kata “Akhkhir, anzhir, atau amhil berarti tundalah. Pendapat ini sama dengan kebolehan periwayatan hadis secara makna sepanjang tidak merubah yang halal menjadi haram atau sebaliknya. Inilah pendapat Ibn Mas’ud dalam menulis mushafnya.


6.    Dialek (Lahjah) bahasa Arab, yaitu dialek Quraisy, Huzail, Tamim, Azd, Rabi’ah, Hawazin, dan Sa’d ibn Bakar. Jadi lafaz al-Qur’ān tetap satu, namun cara membacanya dapat berbeda-beda sesuai dengan tingkat kemudahan dan kesulitas. Inilah pendapat jumhur dan dianggap paling kuat. Pendapat ini merujuk kepada perintah Utsman yang memerintahkan agar menulis mushaf dengan lahjah Quraisy jika terjadi perbedaan. Misalnya kata Ikhsi’uu (rendahkanlah) dalam bahasa Arab umum dapat diganti dengan ukhzuu dalam dialek kabilah Azrah, Kata Laa taghluu  (Jangan melapauai batas) sama dengan laa tuziiduu dalam dialek bani Lakhm, atau kata Khaluu’an  (cemas) sama dengan dhajiiran dalam dialek.

Makna angka “tujuh” dalam hadis di atas masih diperdebatkan ulama tentang maksud dan batasnya. Sebagian ulama mengatakan tujuh huruf tsb bermakna batas maksimal sehingga tidak boleh lebih atau tidak bermakna lebih dari tujuh macam. Sebagian menyatakan angka tujuh tersebut sebagai batasan yang berarti al-Qur’ān hanya boleh dibaca dengan tujuh macam bacaan). Pembatasan ini merupakan pendapat jumhur. Sedangkan sebagian ulama lainnya memaknainya sebagai makna banyak, sehingga al-Qur’ān boleh dibaca dengan berbagai dialek Arab yang ada, tidak hanya tujuh dialek atau baacaan tetapi boleh lebih dari itu.


  1. ASUMSI TENTANG SEBAB-SEBAB PERBEDAAN MUSHAF

            Persoalan mengapa terjadi perbedaan dalam bacaan dan penulisan al-Qur’an (perbedaan mushaf) telah mendapat perhatian dan dijawab oleh kalangan ilmuwan muslim dengan berbagai pendekatan.
A. Pendekatan tradisionalis melihat perbedaan dalam bacaan dan tulisan al-Qur’an sebagai ketentuan dari Nabi atau bahkan langsung dari Allah SWT. Dalam pendekatan ta’abbudiy ini ada anggapan kuat bahwa berbagai tulisan al-Qur’an yang menyimpang dari kaidah standar bahasa Arab memang berasal dari Nabi, sebagaimana peletakkan urutan serta nama ayat dan surat juga berasal dari Beliau. Perspektif tradisionalis ini memang lebih banyak mengangkat aspek realitas namun cenderung tidak kritis karena kurang menggali latar belakang perbedaan dalam penulisan atau pembacaan al-Qur’an. Kelemahan lain dari pendekatan ini adalah kurang mengungkap nilai-nilai positif dan pemanfaatan perbedaan untuk menggali kekayaan dan kedalaman pemikiran Islam ke depan.  Kata shalat dan zakat dalam mushaf Utsmani misalnya ditulis dengan huruf waw, padahal kaidah standar menggunakan huruf alif. Namun ada yang meyakini penyimpangan seperti ini memang berasal dari Nabi SAW sehingga harus diikuti apa adanya. Bagi kalangan ini, dispensasi kebolehan berbeda dalam bacaan dan penulisan al-Qur’an hanya bersifat darurat, untuk sementara pada situasi saat itu saja, dan tidak berlaku lagi untuk masa dan orang-orang sesudahnya. Asumsi seperti ini ternyata banyak dipertahankan oleh banyak ulama tafsir atau penulis kitab-kitab ‘ulum al-Qur’an. Pendekatan dan pola pikir seperti ini tentu cenderung bersifat taqlid sehingga kurang mengembangkan inovasi dan kreatifitas umat  Islam. Pandangan tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Said Sukamta yang menyatakan bahwa kebolehan berbeda dalam bacaan atau tulisan al-Qur’an pada masa Nabi memang ada namun kebolehan itu bersifat terbatas dan darurat. Untuk saat ini tidak boleh ada perbedaasn lagi.
B. Pendekatan Kritis memandang perbedaan dan penyimpangan dalam bacaan atau penulisan al-Qur’an bukan sebagai hal yang alami, tetapi justru mencurigai memang ada unsur-unsur kesalahan di dalamnya. Kesalahan ini sangat mungkin dilakukan oleh tim penulis mushaf bentukan khalifah Utsman yang diketuai oleh Zaid ibn Tsabit atau juga dilakukan oleh individu sahabat tertentu ketika menulis mushaf untuk pribadinya. Kesalahan ini misalnya penulisan kata shalat dan zakat dengan huruf waw. Sedangkan hadis “Sesungguhnya al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf ...” dianggap sebagai hasil rekayasa untuk pembenaran terhadap kekeliruan yang terjadi. Pandangan dan sikap kritis seperti ini dikemukakan antara lain oleh beberapa intelektual dari Jaringan Islam Liberal atau JIL.
C. Pendekatan Fenomenologis melihat adanya perbedaan dalam bacaan atau penulisan al-Qur’an memang terjadi sejak zaman Nabi. Perbedaan tersebut ternyata memang dibolehkan secara langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Toleransi tersebut diberikan oleh Beliau dengan mempertimbangkan adanya perbedaan di kalangan umat Islam dalam hal pengetahuan, kemampuan atau bahasa dan perbedaan dialek bahasa Arab di kalangan sahabat itu sendiri. Bagi kalangan fenomenologis ini, kebolehan untuk berbeda dalam membaca al-Qur’an ini menunjukkan tingginya toleransi Nabi dalam menghadapi perbedaan di kalangan umat Islam. Perbedaan dalam hal yang sensitif saja, seperti bacaan dan tulisan al-Qur’an, oleh Beliau masih diberi kelonggaran, apalagi perbedaan dalam persoalan kecil lainnya yang tentu lebih dibolehkan. Pendekatan fenomenologis ini lebih tepat untuk menciptakan hubungan serasi dan harmonis di tengah berbagai perbedaan. Hal lebih penting lainnya adalah kemampuan pandangan fenomenologis ini dalam menciptakan kebebasan dan mendorong umat Islam untuk tetap kreatif dan inovatif dalam membangun peradaban, sebagaimana dicontohkan oleh keragaman banyak sahabat dalam menulis mushaf, dan sikap Nabi SAW yang tetap mengakomodir berbagai perbedaan tersebut.


  1. PENGARUH TERHADAP DINAMIKA PEMIKIRAN ISLAM

            Dua macam sikap sahabat dalam menanggapi perbedaan bacaan dan penulisan al-Qur’an ternyata dalam jangka panjang menunjukkan atau bahkan melahirkan dua macam pola pemikiran, yaitu:
  1. Pola pemahaman tekstual

Pola ini yang menganggap bacaan dan tulisan al-Qur’an harus seperti yang dibaca Nabi, atau harus sesuai dengan bahasa Arab Quraisy yang menjadi acuan mushaf Utsmani. Bacaan dan tulisan al-Qur’an harus ta’abbudiy, tidak boleh berbeda dari contoh yang ditulis dalam mushaf standar. Perbedaan dari ketentuan itu dianggap sebagai penyimpangan yang menyesatkan dan harus diberantas. Sikap seperti ini melahirkan pemikiran umat Islam yang sangat ketat dan kaku berpegang kepada teks (sumber tertulis) sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan dan cara untuk memperoleh kebenaran. Dalam sejarah hukum Islam, pemahaman seperti ini dikembangkan oleh aliran Ahl al-Hadis di wilayah Hijaz dengan imam Malik, al-Syafi’i, dan ulama ilmu riwayah lainnya sebagai tokohnya. Pola seperti inilah yang didengungkan oleh ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan yang populer di kalangan umat Islam.

B. Pola pemahaman rasional – kontekstual

Pola ini memandang pembacaan dan penulisan ayat-ayat al-Qur’an tidak harus persis sama seperti yang tertulis dalam mushaf Utsmani. Dengan kata lain, pemahaman seperti ini membolehkan pembacaan al-Qur’an dengan bacaan lafaz dan dialek atau tulisan Arab yang berbeda dari mushaf Utsmani dengan syarat makna atau maksudnya tetap sama. Kebolehan ini memiliki dasar pijakan sebagaimana boleh meriwayatkan hadis Nabi secara makna (al-riwayah bil makna). Kebolehan pembacaan seperti ini tetap memiliki dasar rujukan karena masih mengacu kepada kebebasan yang pernah terjadi pada zaman Nabi dan era sahabat. Pola pemahaman rasional ini dalam sejarahnya berpusat di Iraq, yang dasar-dasarnya dibawa oleh sahabat Nabi bernama Ibn Mas’ud (Abdullah bin Mas’ud). Dari murid atau pengikut beliau inilah kemudian lahir ulama-ulama rasional dari kalangan tabi’in yang terkenal sebagai ulama Ahl al-Ra’yi. Perjalanan panjang sejarah Islam memperlihatkan wilayah Iraq, dengan pusat-pusat kota seperti Baghdad, Kufah dan Basrah, menjadi tempat subur lahirnya peradaban Islam dengan tokoh-tokoh intelektual muslim ternama masa itu, baik dalam bidang fiqh, kalam, filsafat, tasawuf, sains, dan sebagainya.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar