- Sejarah Al Qur’an Pada Masa Rasulullah
Pada zaman Rasulullah SAW dan pemerintahan Abu Bakar dan Umar,
ilmu-ilmu Al-Quran belum dibukukan, karena umat islam belum
memerlukannya. Sebab umat islam pada waktu itu adalah bangsa Arab
asli sehingga mereka mampu memahami Al-Qur’an dengan baik, karena
bahasa Al-Qur’an adalah bahasa mereka sendiri dan mereka
mengetaahui sebab-sebab turunnya Al-Qur’an. Oleh karenanya jarang
sekali sahabat yang bertanya kepada Nabi tentang maksud-maksud ayat.
Ayat Al-Qur’an tidak dikumpulkan atau dibukukan
seperti sekarang. Karena disebabkan beberapa faktor, maka ayat
Al-Qur’an mulai dikumpulkan atau dibukukan, yaitu dikumpulkan dalam
satu mushaf. Pengumpulan
Al-Qur’an pada masa nabi hanya dilakukan pada dua cara yaitu
dituliskan pada benda-benda seperti yang terbuat dari kulit binatang,
batu yang tipis dan licin, pelepah kurma, tulang binatang dan
lain-lain. Tulisan-tulisan dari benda-benda tersebut dikumpulkan
untuk Nabi dan beberapa diantaranya menjadi koleksi para sahabat yang
pandai baca tulis.
Rasulullah telah mengangkat para sahabat-sahabat terkemuka untuk
menulis wahyu Al-Qur’an, yaitu: Ali, Muawiyah, Ubai bin K’ab dan
Zaid bin Sabit, jika ayat turun ia memerintahkan mereka menulis dan
menunjukan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada
lembar itu membantu penghafalan didalam hati. Sebagian sahabat
menuliskan Al-Qur’an yang turun itu atas kemauan sendiri, tanpa
diperintah nabi.
Al-Qur’an turun kepada Nabi yang Ummi (tidak bisa baca-tulis) dan
diutus Allah di kalangan orang-orang yang Ummi. Karena itu perhatian
Nabi hanyalah menghafal dan menghayati agar beliau dapat menguasai
Al-Qur’an yang diturunkan. Rasulullah sangat menyukai wahyu, beliau
senantiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal
dan memahaminya. Seperti yang dijanjikan Allah:
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (didadamu)
dan (membuatmu pandai) membacanya (al-Qiyamah: 17).
Proses turunnya Al-Qur’an terkadang turun hanya satu ayat dan
kadang sampai sepuluh ayat. Setiap kali ayat turun kemudian dihafal
didalam dada dan ditempatkan dalam hati. Bangsa arab secara kodratnya
memunyai daya hafal yang kuat, karena umumnya mereka buta huruf.
- Pengumpulan Al-Qur’an
Ali bin Abi Thalib sebagai pengumpul pertama al Qur`an pada masa Nabi
berdasarkan perintah Nabi sendiri. Di kalangan Syi`ah menegaskan Ali
bin Abi Thalib sebagai orang pertama yang mengumpulkan al Qur`an
setelah wafatnya Nabi. Sumber-sumber Sunni juga mengungkapkan bahwa
Ali memiliki kumpulan al Qur`an. Di kalangan ortodok Islam,
pengumpula al Qur`an dapat dilakukan secara resmi pada masa
pemerintahan Abu Bakar al- Shiddiq. Al Khatthabi berkata, “
Rasulullah tidak mengumpulkan al Qur`an dalam satu mushaf karena
senantiasa menunggu ayat yang menghapus terhadap sebagian hukum-hukum
atau bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya
Rasulullah maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap
kepada para Khulafaur Rasyidin sesuai dengan janji-Nya yang benar
kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya”.
Pengumpulan pada masa Nabi cuma bisa dengan cara menghafal.
Rasulullah sangat menyukai wahyu ia senantias menunggu turunnya wahyu
dengan rasa rindu, lalu pada saat wahyu itu turun, Rasul langsung
menghaal dan memahaminya.
Oleh sebab itu, ia adalah Hafidz (penghafal)
pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam
menghafalnya, sebagai realisasi kecintaan mereka kepada pokok masalah
dan risalah. Setiap kali ayat turun, dihafal dan di temptkan
dalam hati, sebab bangsa arab secara kodrati mempunyai hafalan yang
kuat.
Pada setiap kali Rasulullah menerima wahyu yang
berupa ayat-ayat Al-Qur’an beliau membacanya didepan para sahabat,
kemudian para sahabat menghafalkan ayat-ayat tersebut sampai hafal di
luar kepala. Namun kemudian beliau menyuruh kuttab
(penulis wahyu) untuk menuliskan ayat-ayat yang baru di terimanya
itu. Mereka yang termasyhur adalah; Abu Bakar, Umar bin khatab,
ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin khaab, zayd bin
tsabit, az-zubayr bin Awwam, Mu’awiyah bin Abi sufyan, Al-arqam bin
maslamah, Muhammad bin Maslamah, Abban bin Sa’it bin AL-‘As,
Maslamah bin khalid, qais bin Shasha’ah, Tamim Al-Dari, Salamah bin
Makhlad, Abu Musa AL-Asy’ari, Uqbah bin Amir, Ummu faraqah binti
Abdillah binti Harits.
- Perkembangan Al-Qur’an
Pada masa nabi ilmu-ilmu al-quran belum di
bukukan, karena umat islam belum memerlukannya serta ulumul quran
masih belum ada, sebab pada waktu itu Rasulullah SAW masih hidup,
sehingga jika terdapat suatu pertanyaan atau permasalahan mengenai
al-Quran bisa ditanyakan langsung kepada Rasul kemudian diingat dalam
pikiran dan hati para sahabat. Selain alasan di atas, belum adanya
kebutuhan untuk menulis kitab-kitab tentang ulumul quran merupakan
alasan di balik belum munculnya ulumul quran pada masa Nabi.
Terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk
menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib,
Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga
kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media
penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan
batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang
belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat
langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.
- PENULISAN AL-QUR`AN
- Pada Masa Rasulullah
Ketika diturunkan satu atau beberapa ayat, Rasul saw langsung
menyuruh para sahabat untuk menghafalkannya dan menuliskannya di
hadapan beliau. Rasulullah mendiktekannya kepada para penulis wahyu.
Para penulis wahyu menuliskannya ke dalam lembaran-lembaran yang
terbuat dari kulit, daun, kaghid, tulang yang pipih, pelepah kurma,
dan batu-batu tipis.
Mengenai lembaran-lembaran ini Allah SWT berfirman:
Rasuulun minallaaHi yatluu shuhufan muthaHHarah
Artinya:
(yaitu) seorang utusan Allah (yakni Muhammad) yang membacakan
lembaran-lembaran yang disucikan (al-Qur`an) (QS.
Al-Bayyinah [98]: 2)
Rasulullah saw mengizinkan kaum muslimin untuk menuliskan al-Qur`an
berdasarkan apa yang beliau diktekan kepada para penulis wahyu.
Rasulullah saw bersabda:
Laa taktubuu ‘annii, wa man kataba ‘annii ghairal qur`aani
falyamhuHu
Artinya:
Janganlah
kalian menulis dari aku. Barangsiapa yang telah menulis dari aku
selain al-Qur`an hendaknya ia menghapusnya. (HR. Muslim)
Rasulullah saw tidak khawatir dengan hilangnya ayat-ayat al-Qur`an
karena Allah telah menjamin untuk memeliharanya berdasarkan nash yang
jelas:
Innaa nahnu nazzalnadz dzikra wa innaa laHu
lahaafizhuun
Artinya:
Sesungguhnya
Kamilah yang menurunkan al-Qur`an dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya. (QS. Al-Hijr [15]:9)
Rasulullah saw gembira dan ridha dengan al-Qur`an sebagai mukjizat
terbesarnya yang dapat digunakan sebagai hujjah terhadap orang-orang
Arab maupun orang-orang di seluruh dunia.
Ketika Nabi saw wafat, al-Quran secara keseluruhan sudah tertulis
pada lembaran-lembaran, tulang-tulang, pelepah kurma, dan batu-batu
tipis, dan di dalam hafalan para sahabat ra.
- Pada Masa Khalifah Abu Bakar r.a
Setelah Nabi Muhammad SAW. wafat dan Abu Bakar
diangkat sebagai Khalifah maka banyak terjadi gerakan-gerakan yang
menimbulkan perpecahan dan meresahkan umat islam, seperti gerakan
keluar dari agama Islam yang dipimpin Musailamah Alkadzab,
yang umat Islam sendiri dipimpin oleh Khalid bin Walid, maka
terjadilah peperangan, Setelah pertempuran Aqraba pada tahun 632 M,
banyak penghafal Qur’an terbunuh. Sehingga Umar bin Khattab
menyarankan kepada Abu Bakar suatu kebutuhan untuk menyusun Qur’an
dalan suatu standard teks.
Pada mulanya usul Umar ini ditolak oleh Abu Bakar karena alasan hal tersebut tidak pernah dilakukan Nabi. Itu Bid’ah, katanya. Tapi setelah diyakinkan Umar atas manfaatnya bagi umat Islam, Abu Bakar setuju. Abu Bakar kemudian memerintahkan penyusunan agar dibuat oleh Zaid Ibn Thabit dari tulisan-tulisan yang ditulis pada daun palem, batu dan juga dari orang-orang yang hafal isi Alquran diluar kepala yang masih tersisa.
Dalam perang itu menimbulkan banyak korban dari pihak Islam yaitu 70 orang sahabat yang hafal Alquran terbunuh kemudian setelah kejadian itu mendorong umat agar Abu Bakar membukukan alquran dan kemudian diutuslah Zaid bin Tsabit sebagai penulis penghimpun Alquran.
Pada mulanya usul Umar ini ditolak oleh Abu Bakar karena alasan hal tersebut tidak pernah dilakukan Nabi. Itu Bid’ah, katanya. Tapi setelah diyakinkan Umar atas manfaatnya bagi umat Islam, Abu Bakar setuju. Abu Bakar kemudian memerintahkan penyusunan agar dibuat oleh Zaid Ibn Thabit dari tulisan-tulisan yang ditulis pada daun palem, batu dan juga dari orang-orang yang hafal isi Alquran diluar kepala yang masih tersisa.
Dalam perang itu menimbulkan banyak korban dari pihak Islam yaitu 70 orang sahabat yang hafal Alquran terbunuh kemudian setelah kejadian itu mendorong umat agar Abu Bakar membukukan alquran dan kemudian diutuslah Zaid bin Tsabit sebagai penulis penghimpun Alquran.
Dalam melaksanakan tugasnya Zaid bin Tsabit berpegang pada 2 hal yaitu:
1. Ayat ayat Alquran yang ditulis pada masa Nabi Muhammad SAW disimpan di rumah beliau.
2. Ayat ayat Alquran yang dihapal oleh para Sahabat
lainnya yang hafidz Alquran.
Zaid tidak mau menerima tulisan ayat ayat Alquran,
kecuali disaksikan oleh 2 orang saksi yang adil dan meyakini
bahwa ayat itu benar benar ditulis dihadapan Nabi Muhammad dan atas
perintah dan petunjuknya.
Pengumpulan mushaf pada saat Abu Bakar dan
dilanjutkan oleh Umar saat menjadi khalifah (kalifah kedua, 634-644
M), belum merupakan usaha kodifikasi yang serius. Mereka hanya
mengumpulkan fragmen-fragmen Qur’an yang berserakan dari para
sahabat, tetapi belum menyusunnya ulang dalam satu bentuk mushaf
Qur’an yang utuh.
- Pada Masa Khalifah Utsman bin Affan r.a
Sahabat Hudzaifan pada masa pemerintahan Utsman menyarankan kepada
beliau agar segera mengusahakan penyeragaman bacaan Alquran dengan
cara penyeragman penulisannya. Hal itu disebabkan oleh perbedaan
tentang bacaan Alquran.
Utsman dapat menerima pemahaman atas usul Hudzaifah,
kemudian di bentuk panitia yang terdiri dari 4 orang, yakni
terdiri dari:
1. Zaid bin Tsabit
2. Sa’id bin Ash
3. Abdullah bin Zubair
4. Abdurrahman bin Harits.
5. Ubay ibn Ka’ab.
6. Anas ibn Malik.
7. Abdullah Ibn Abbas
8. Malik Ibn Abi ‘Amir
9. Katsir Ibn Aflah
Perbedaan pengumpulan mushaf Alquran pada masa Abu
Bakar dan Ustman ada dalam hal motif dan caranya. Motif pengumpulan
Alquran pada masa Abu Bakar adalah kehawatiran akan hilangnya Alquran
karena banyak nya para huffadz yang gugur dalam peperangan, sedangkan
motif pada masa Utsman adalah karena banyaknya perbedaan cara membaca
Alquran, sedangkan dalam perbedaan dari segi cara, yaitu pada masa
Abu Bakar ialah memindahkan tulisan atau catatan Alquran yang semula
bertebaran pada kulit binatang, tulang, pelepah kurma dsb. kemudian
dikumpulkan dalam mushaf dengan ayat dan surat yang tersusun serta
terbatas pada bacaan yang tidak dimansuhk dan mencakup ke tujuh
huruf (dialek) sebagai mana Alquran diturunkan. sedang cara
pengumpulan yang dilalukan pada masa Utsman adalah menyalinnya dalam
satu dialek dengan tujuan untuk mempersatukan kaum
muslimin.
- Penyempurnaan Penulisan Al-quran Setelah Masa Khulafa Al-Rasyidin
Pada
masa setelah khulafa Al – Rasyidin
penulisan Al – Qur’an mengalami penyempurnaan dalam penulisannya,
diantaranya :
1.Mushaf Utsmani itu tidak memakai tanda baca,
baik titik maupun syakal, karena semata mata di
dasarkan pada watak pembawaan orang orang Arab yang masih murni.
2. Tetapi ketika Islam telah tersebar luas
dan Alquran dibaca dan dipelajari umat Islam di luar orang Arab, maka
para penguasa pada saat itu merasa perlu untuk mengadakan perbaikan
dan penyempurnaan penulisan mushaf dengan menggunakan syakal, titik
dll. orang yang pertama melakukan perbaikan terhadap penulisan
Alquran, menurut pendapat sebagian ulama adalah Abdul Aswad Ad Duali
(ulama ahli bahasa) atas perintah Ziad (Gubernur Basroh), masa
pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
3.Sebab sebab pembuatan tanda baca Alquran adalah
ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan mengajak bicara Abdullah bin Ziad
(putra Ziad). namun pembicaraan Abdullah bin Ziad banyak yang salah
dan kemudian mendapat teguran dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
dari teguran itu lah Ziad menyuruh kepada Abdul Aswad Ad Duali
untuk memberi tanda baca.
4. Kemudian Abdul Aswad Ad Duali
memerintahkan kepada laki-laki dari Qabilah Quraisy, dia menyuruh
untuk memberi tanda baca dengan warna yang berbeda dengan tulisan
mushaf, yaitu jika membuka bibir maka berilah tanda titik di atas
huruf nya dengan sebuah titik, bila mendomahkannya dalam
(monyong)
maka berilah tanda titik di depan huruf nya, bila mengkasrahkan
(pecah)
maka berilah tanda titik di bawahnya, bila membacakan suara tanwin
maka berilah dua
titik.
5. Akan
tetapi tanda tanda baca yang di buat Abdul Aswad Ad Duali belum dapat
menghindari kecederaan dalam membaca Alquran, oleh sebab itu
disempurnakanlah oleh Nashr bin Ashim
yang kemudian di sempurnakan lagi oleh Khalil
bin Ahmad (Ulama Abasiyah) dengan cara
memberi tanda fatah dengan “ ا
” kecil, domah
dengan “ و”
kecil, kasrah dengan “ ى”
kecil ( yang dikenal dengan syakal),
kemudian tasdyid dengan kepala “ س”
dan tanda sukun dengan kepala"
ه
"
dsb.
6. Kemudian secara
bertahap orang-orang mulai meletakan nama-nama surat dan bilangan
ayat dan rumus-rumus yang menunjukan kepala ayat dan tanda-tanda
wakof. tanda wakof ladzim dengan ( م
),
wakof mam’nu ( لا
), wakof jaiz
( ج
), lalu pembuatan
tanda juz, tanda hizb dan penyempurnaan lainnya.
- Berbagai Versi Mushaf pada masa sahabat
Beberapa mushaf yang sempat terekam dalam sejarah
adalah mushaf milik Ubay bin Ka’ab, Ibn Mas’ud, Ibn
Abbas, Ali bin Abi Thalib, dan Hafsah istri Nabi.Mushaf-mushaf itu
memiliki jumlah dan susunan ayat yang berbeda. Sebagai misal
Mushaf Ubay memiliki 115 surah, Mushaf Ibn Mas’ud memiliki 108
surah, Mushaf Ibn Abbas 116 surah.
Perbedaan ini terekam dari komplain Aisyah istri Nabi yang dikutip Jalaluddin Al-Suyuthi dalam kitab al-Itqan sebagai berikut: “pada masa Muhammad surah al-Ahzab berjumlah 200 ayat. Setelah Usman melakukan kodifikasi, jumlahnya menjadi seperti sekarang yakni 73 ayat.”Pada Mushaf Ibn Abbas juga ada dua surah yang yang tidak disertakan dalam Mushaf Usmani yaitu al-Khal dan al-Hafd.
Perbedaan ini terekam dari komplain Aisyah istri Nabi yang dikutip Jalaluddin Al-Suyuthi dalam kitab al-Itqan sebagai berikut: “pada masa Muhammad surah al-Ahzab berjumlah 200 ayat. Setelah Usman melakukan kodifikasi, jumlahnya menjadi seperti sekarang yakni 73 ayat.”Pada Mushaf Ibn Abbas juga ada dua surah yang yang tidak disertakan dalam Mushaf Usmani yaitu al-Khal dan al-Hafd.
Di samping itu, banyak
sahabat yang mencatat ayat-ayat al-Qur’ān sejak masa Nabi, bahkan
mereka mengumpulkannya dan menjadikannya sebagai mushaf.
Catatan-catatan tersebut mereka
simpan untuk mereka masing-masing, atau untuk mereka gunakan dalam
pengajaran agama Islam. Mushaf-mushaf yang terkenal a.l. mushaf Ali
bin Abi Thalib, mushaf Ubay bin Ka’ab, mushaf Abdullah ibn Mas’ud,
mushaf Zaid ibn Tsabit, dll.
Masing-masing versi mushaf memiliki perbedaan,
banyak atau sedikit, sebagai berikut:
1. Mushaf Ali bin Abi Thalib
Mushaf Ali bin Abi Thalib memiliki ciri khusus
yang tidak dimiliki oleh mushaf lainnya. Karakter khusus mushaf ini
adalah:
a. Ayat dan surat tersusun rapi sesuai dengan
urutan turunnya, maka ayat-ayat makkiyah
diletakkan sebelum ayat-ayat madaniyah,
ayat-ayat yang turun masa awal diletakkan lebih dahulu dari pada
ayat-ayat yang turun belakangan.
b. Bacaan yang tercantum dalam mushaf ini lebih
mendekati keaslian sehingga lebih sesuai dengan bacaan Rasul;
c. Ada catatan tanzil dan takwil di tepi mushaf
yang menjelaskan situasi dan kondisi serta latar belakang ayat-ayat
al-Qur’an diturunkan. Penjelasan ini sangat berguna dalam menggali
maksud ayat-ayat al-Qur’an diturunkan serta menyingkap makna-makna
ayat yang masih samar.
Dari mushaf Ali ini sebenarnya banyak manfaat
yang dapat digali, antara lain dapat diketahui perjalanan tasyri’
hukum, proses gradualisasi dakwah, dan pentahapan ajaran Islam,
demikian pula proses nasikh dan mansukh dalam al-Qur’an. Seandainya
mushaf Ali ibn Abi Thalib ini masih ada saat ini tentu akan banyak
problem dalam memahami al-Qur’an akan teratasi.
2. Mushaf Ibn Mas’ud
Mushaf Ibn Mas’ud memiliki ciri yang juga
berbeda dari mushaf lainnya, yaitu:
a. Hanya memuat 111 surat dan minus surat
al-Fatihah dan al-Mu’awwizatain (surat al-Falaq dan an-Nas).
b. Kata-kata dalam ayatnya banyak berbeda
dengan kebanyakan catatan sahabat lain, karena menurutnya kata-kata
al-Qur’ān boleh diganti dengan sinonimnya, baik untuk lebih
menjelaskan maknanya, atau agar mudah dibaca orang suku tertentu.
c. Sebagian kata dalam ayat diganti dengan kata lain dengan maksud
agar lebih jelas. Misalnya kata shauman (puasa) dalam surat
Maryam ayat 26 diganti shamtan (diam), karena meksud ayat
tersebut adalah nazar berpuasa untuk diam tidak berkata-kata.
3. Mushaf Ubay ibn Ka’ab:
a. Urutan surat berbeda dengan urutas mushaf Utsmani.
b. Jumlah surat lebih banyak, dengan tambahan surat al-Khal’u dan
al-Hafdu yang keduanya memuat doa qunut, karena menurut Ubay kedua
doa tsb termasuk yang diwahyukan.
Doa Khal’u sbb:
اللهم
انا نستعين بك ونستغفرك و نثني عليك الخير
ولا نكفرك ونخلع
Doa Khafdhu sbb:
بسم
االله الرحمن الرحيم اللهم اياك نعبد ولك
نصلي ونسجد واليك نسعى
ونخفض
c. Surat al-Fiil dan al-Quraisy disatukan karena dianggap satu surat
dan tidak dimulai dengan Basmalah.
d. Surat az-Zumar diawali dengan “Hamim”, sehingga dalam
al-Qur’ān terdapat 8 surat yang dimulai dengan “Hamim”.
e. Dalam mushaf Ubay ini banyak terdapat bacaan yang berbeda dengan
bacaan masyhur, seperti beberapa kata dalam ayat-ayat tertentu
diganti dengan kata-kata lain yang dianggap sinonim dan maknanya
tetap sama.
Masih banyak mushaf lain yang krang terkenal, yang juga berbeda jika
dibandingkan dengan mushaf Utsmani a.l. mushaf ‘Aisyah dan mushaf
Anas ibn Malik.
Bentuk-bentuk perbedaan di antara mushaf
sahabat berupa sistem penulisan, susunan/urutan, bacaan, jumlah surat
dan ayat, serta tambahan atau pengurangan tertentu.
Demikianlah para sahabat memiliki mushaf
masing-masing. Sahabat yang tidak memiliki catatan akan meminta
bantuan agar dibuatkan sebuah naskah mushaf sesuai dengan yang
diinginkan. Wilayah Islam yang semakin luas menyebabkan semakin
banyak jumlah dan macam-macam mushaf. Apalagi kebutuhan umat Islam
terhadap al-Qur’ān semakin meningkat. Perbedaan
antar mushaf di atas disebabkan banyak faktor. Di samping memang
banyak yang tidak memiliki hubungan kegiatan dan kerjasama dalam
penulisan, sebab lainnya adalah karena perbedaan kemampuan dalam
kegiatan penulisan, sehingga menyebabkan perbedaan dalam sistem,
bacaan, susunan, dll.
Walaupun demikian, masing-masing mushaf
di atas mendapatkan penghormatan tinggi di dunia Islam saat itu,
sesuai dengan domisili sahabat yang menulis mushaf atau umat Islam
yang mempelajarinya. Mushaf Abdullah ibn Mas’ud, misalnya, menjadi
rujukan penduduk Kufah. Contoh lain adalah mushaf Ubay ibn Ka’ab
yang banyak dipelajari dan dirujuk oleh penduduk Madinah. Demikian
pula mushaf Abu Musa al-Asy’ari di Basrah dan Mushaf Miqdad ibn
al-Aswad di Damaskus.
- Penyeragaman dan standarisasi Mushaf al-Qur’an
Dalam perkembangannya pada masa belakangan, jauh
setelah era Nabi dan sahabat besar, perbedaan mushaf di atas
menyebabkan sering terjadi perselisihan di kalangan masyarakat muslim
yang fanatis terhadap mushaf dengan berbagai bacaan atau
urutan surat yang ada di dalamnya. Tidak jarang satu sama lain
sering saling menyalahkan, dan mengklaim bacaan al-Qur’ān versi
mereka sebagai bacaan paling benar. Bahkan terjadi umat Islam yang
salat berkelompok-kelompok dalam satu masjid, sesuai dengan
bacaan mushaf masing-masing. Situasi demikian berpotensi terjadinya
perpecahan di antara umat Islam.
Catatan penting memperlihatkan perselisihan bahkan konflik banyak
terjadi di kalangan orang-orang yang tidak tahu dengan sejarah masa
Nabi dan sahabat. Padahal pada masa awal itu, pembacaan al-Qur’ān
dan penulisannya sangat fleksibel dan moderat. Namun bagi orang
belakangan yg tidak menyadari kelonggaran pada masa awal Islam dan
kurangnya pengetahuan justru menganggapnya masalah dan perpecahan.
Kondisi perbedaan demikian, terutama terjadi di daerah-daerah
yang jauh dari pusat pemerintahan di Madinah atau di Makkah, atau di
kalangan umat Islam yang banyak masih baru memeluk Islam atau jarang
bertemu dengan banyak sahabat Nabi yang lain. Misalnya dalam
peperangan di Armenia, umat Islam bertengkar karena dalam salat ada
yang membaca “Wa atimmul hajja wal ‘umrata lillah” dan
ada yang membaca “Wa atimmul hajja wal ‘umrata lil bait”.
Situasi demikan, mendorong Huzaifah al-Yamani mengusulkan kepada
Khalifah Utsman ibn ‘Affan agar menyatukan semua mushaf yang ada
dan membaca mushaf tersebut hanya dengan satu macam bacaan. Dalam
suatu riwayat dinyatakan bahwa para sahabat setuju dengan gagasan itu
kecuali Ibn Mas’ud yang menolaknya.
Komite penyeragaman mushaf lalu dibentuk oleh Utsman di bawah
pimpinan Zaid ibn Tsabit, seorang yang dianggap paling bagus
tulisannya dan tergolong muda saat itu. Sedangkan Ibn Mas’ud yang
merasa lebih banyak mengetahui tentang seluk beluk al-Qur’ān jelas
tidak setuju dengan penyeragaman, apalagi ketika ibn Tsabit yang
ditunjuk sebagai ketua komite. Ibn Mas’ud menilai penyeragaman
hanya akan mematikan keleluasaan dan kemudahan umat dalam membaca dan
memahami al-Qur’an yang telah dibolehkan oleh Nabi SAW sejak masa
awal. Namun karena keputusan akhir dan kekuasaan ada di tangah
Khalifah Utsman, maka upaya penyeragaman mushaf al-Qur’an terus
dijalankan. Untuk mempermudah dan memperketat hasil, maka kegiatan
tersebut dibimbing oleh Ubay ibn Ka’ab, Malik ibn Abi ‘Amir, Anas
ibn Malik, dll.
Penyatuan mushaf ini mulai terjadi pada tahun 25 H, pada tahun ke 2
atau ke 3 dari kekhilafahan Utsman. Hasilnya adalah tersusunnya
mushaf standar yang menjadi acuan satu-satunya bagi seluruh umat
Islam. Mushaf standar ini dinamakan Mushaf Utsmani atau Mushaf
al-Imam. Semua mushaf lainnya yang berbeda dari mushaf standar ini
harus dimusnahkan dengan cara dibakar
Ciri-ciri mushaf Utsman adalah:
1. Susunannya seperti yang banyak beredar saat ini, hanya ada
perbedaan sedikit dengan beberapa mushaf sahabat dalam susunan atau
urutan surat. Misalnya jika mushaf sahabat lainnya meletakkan Surat
Yunus masuk dalam tujuh surat besar dan di urutuan ke-7, maka mushaf
Utsmani menggolongkannya ke dalam kelompok Ma’in. Ini menunjukkan
bahwa susunan al-Qur’ān yang ada saat ini adalah hasil ijtihad
sahabat, dan bukan tauqifi dari Allah SWT atau Nabi SAW.
2. Tanda baca seperti titik dan harakat tidak
ada, sehingga masih sulit membedakan huruf dan tata bahasa (i’rab
dan wazan
kalimat). Beberapa contoh
kesalahfahaman dalam bacaan kalimat misalnya:
- Sulit
dibedakan “yablu, nablu, tablu,
tatlu, yatlu, natlu”
- Sulit
membedakan “ya’lamuhu, ta’lamuhu,
na’lamuhu, bi’ilmihi’, dll.
- Maka ayat
“litakuuna liman khalfaka ayatan”
sering dibaca “litakuuna
liman khalaqaka ayatan”.
-
“Nunsyizuha, Nunsyiruha,
Tunsyiruha”. (Al-Baqarah: 259)
-
“Yuallimuhu, nu’allimuhu,
ya’lamuhu, na’lamuhu”( S. Ali
‘Imran: 48)
-
“Nunajjika” atau :Nunahhika”
(Yunus 92).
-
“Lanubawwiannahum”
atau “lanubawwiyannahum”.
3. Tata tulisan tidak konsisten sebagai akibat
kesalahan dalam imla’
dan penulisananya, misalnya :
-
الكتاب
kadang ditulis
dengan الكتب
-
الرحمان
banyak ditulis
dengan dengan الرحمن
الصلو
ة
– الزكوة ditulis
menjadi الصلاة
– الزكاة-
- اختلاف
اليل و النهار
menjadiاختلف
اليل و النهار
- Ada
penulisan “basthah”
dengan huruf sin, ada pula penulisannya dengan huruf shad menjadi
“Bashthah”,
demikian pula pada kata “Yabsuthu”
ditulis dengan “Yabshuthu”,
dll
Menurut Subhi Salih, “Berbagai keganjilan
penulisan di atas bukan perintah dari Nabi atau hal yang bersifat
Tauqifi.
Hal itu juga tidak sama dengan huruf-huruf Muqatha’ah
di awal surat yang memang mengandung misteri dan mutawatir. Semua
kesalahan itu memang dilakukan oleh tim penulis yang dibentuk Utsman,
baik atas peresetujuannya dan sepengetahuannya atau tidak”.
- Respon Nabi SAW Terhadap Perbedaan Bacaan al-Qur’an.
Pembacaan al-Qur’ān pada masa Nabi saw
ternyata sangat dinamis, ada toleransi keragaman dan perbedaan dalam
huruf, bunyi, ucapan, kata bahkan juga tulisan, sepanjang tidak
mengubah maksud dan tujuan ayat itu sendiri.
Maka perbedaan dalam pembacaan dan
pencatatan al-Qur’ān yang menimbulkan keragaman mushaf memang ada
dan terjadi di kalangan sahabat. Data bukti tersebut ditemukan dalam
banyak dokumen otentik, baik dari hadis maupun kutipan para ulama
dalam berbagai kitab tafsir dan ulum al-Qur’ān.
Hadis riwayat Imam Muslim berikut ini
menjelaskan keragaman bacaan di kalangan sahabat dan sikap toleran
Nabi dalam meresponnya:
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ
عَلَى مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ
عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ
قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ
يَقُولُا سَمِعْتُ هِشَامَ بْنَ حَكِيمِ
بْنِ حِزَامٍ يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ
عَلَى غَيْرِ مَا أَقْرَؤُهَا وَكَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَقْرَأَنِيهَا فَكِدْتُ أَنْ
أَعْجَلَ عَلَيْهِ ثُمَّ أَمْهَلْتُهُ
حَتَّى انْصَرَفَ ثُمَّ لَبَّبْتُهُ
بِرِدَائِهِ فَجِئْتُ بِهِ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي
سَمِعْتُ هَذَا يَقْرَأُ سُورَةَ
الْفُرْقَانِ عَلَى غَيْرِ مَا
أَقْرَأْتَنِيهَا فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَرْسِلْهُ اقْرَأْ فَقَرَأَ الْقِرَاءَةَ
الَّتِي سَمِعْتُهُ يَقْرَأُ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ ثُمَّ
قَالَ لِي اقْرَأْ فَقَرَأْتُ فَقَالَ
هَكَذَا أُنْزِلَتْ إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ
أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
[
Hadis di atas secara tegas menunjukkan kebolehan berbeda dalam
membaca al-Qur’an berdasarkan pernyataan Nabi yang berbunyi “ ...
sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dengan tujuh macam huruf
(tujuh macam bahasa Arab) maka bacalah dengan cara yang mudah“.
Hadis-hadis semakna dan searah dengan hadis di atas hampir bernilai
mutawatir karena sangat banyak jumlahnya. Berbagai hadis tersebut
secara jelas membolehkan pembacaan al-Qur’an dengan berbagai bahasa
Arab yang ada saat itu, baik Arab Quraisy atau lainnya.
Para ulama memberikan makna “tujuh huruf” dengan makna
beragam, yaitu makna:
1. Bacaan (Qiraat) seperti pendapat Ibn
al-Jazari, misalnya dalam ungkapannya “Penduduk Syam ketika
membaca al-Qur’ān, membacanya dengan bacaan (biharfi) Ibn ‘Amir”.
Menurut Khalil ibn Ahmad, pendapat yang mengartikannya sebagai qiraat
atau cara bacaan adalah lemah.
2. Makna atau arah (al-makna wal jihat)
seperti pendapat Muhamaad ibn Sa’dan an-Nahawi (w. 231 H).
3. Tujuh macam ilmu, terutama tauhid dengan
berbagai cabangnya.
4. Tujuh macam pemaknaan al-Qur’ān, yaitu
muthlaq - muqayyad, ‘amm - khas, nasikh – mansukh, mujmal –
mufassar, dll.
5. Banyak (Tujuh) makna yang sama (sinonim) pada
kata-kata yang berbeda-beda. Misalnya kata “marilah” dalam bahasa
Arab dapat berupa “aqbil”, “halumma” atau “ta’aal).
Kata “asri’” atau ‘ajjil bermakna cepat.
Demikian pula kata “Akhkhir, anzhir, atau amhil
berarti tundalah. Pendapat ini sama dengan kebolehan periwayatan
hadis secara makna sepanjang tidak merubah yang halal menjadi haram
atau sebaliknya. Inilah pendapat Ibn Mas’ud dalam menulis
mushafnya.
6. Dialek (Lahjah) bahasa Arab, yaitu dialek
Quraisy, Huzail, Tamim, Azd, Rabi’ah, Hawazin, dan Sa’d ibn
Bakar. Jadi lafaz al-Qur’ān tetap satu, namun cara membacanya
dapat berbeda-beda sesuai dengan tingkat kemudahan dan kesulitas.
Inilah pendapat jumhur dan dianggap paling kuat. Pendapat ini merujuk
kepada perintah Utsman yang memerintahkan agar menulis mushaf dengan
lahjah Quraisy jika terjadi perbedaan. Misalnya kata Ikhsi’uu
(rendahkanlah) dalam bahasa Arab umum dapat diganti dengan ukhzuu
dalam dialek kabilah Azrah, Kata Laa taghluu (Jangan
melapauai batas) sama dengan laa tuziiduu dalam dialek bani
Lakhm, atau kata Khaluu’an (cemas) sama dengan
dhajiiran dalam dialek.
Makna angka “tujuh” dalam hadis di atas masih diperdebatkan ulama
tentang maksud dan batasnya. Sebagian ulama mengatakan tujuh huruf
tsb bermakna batas maksimal sehingga tidak boleh lebih atau tidak
bermakna lebih dari tujuh macam. Sebagian menyatakan angka tujuh
tersebut sebagai batasan yang berarti al-Qur’ān
hanya boleh dibaca dengan tujuh macam bacaan). Pembatasan ini
merupakan pendapat jumhur. Sedangkan sebagian ulama lainnya
memaknainya sebagai makna banyak, sehingga al-Qur’ān boleh dibaca
dengan berbagai dialek Arab yang ada, tidak hanya tujuh dialek atau
baacaan tetapi boleh lebih dari itu.
- ASUMSI TENTANG SEBAB-SEBAB PERBEDAAN MUSHAF
Persoalan mengapa terjadi perbedaan dalam bacaan dan penulisan
al-Qur’an (perbedaan mushaf) telah mendapat perhatian dan dijawab
oleh kalangan ilmuwan muslim dengan berbagai pendekatan.
A. Pendekatan tradisionalis melihat perbedaan dalam bacaan dan
tulisan al-Qur’an sebagai ketentuan dari Nabi atau bahkan langsung
dari Allah SWT. Dalam pendekatan ta’abbudiy ini ada anggapan
kuat bahwa berbagai tulisan al-Qur’an yang menyimpang dari kaidah
standar bahasa Arab memang berasal dari Nabi, sebagaimana peletakkan
urutan serta nama ayat dan surat juga berasal dari Beliau. Perspektif
tradisionalis ini memang lebih banyak mengangkat aspek realitas namun
cenderung tidak kritis karena kurang menggali latar belakang
perbedaan dalam penulisan atau pembacaan al-Qur’an. Kelemahan lain
dari pendekatan ini adalah kurang mengungkap nilai-nilai positif dan
pemanfaatan perbedaan untuk menggali kekayaan dan kedalaman pemikiran
Islam ke depan. Kata shalat dan zakat dalam mushaf Utsmani
misalnya ditulis dengan huruf waw, padahal kaidah standar menggunakan
huruf alif. Namun ada yang meyakini penyimpangan seperti ini memang
berasal dari Nabi SAW sehingga harus diikuti apa adanya. Bagi
kalangan ini, dispensasi kebolehan berbeda dalam bacaan dan penulisan
al-Qur’an hanya bersifat darurat, untuk sementara pada situasi saat
itu saja, dan tidak berlaku lagi untuk masa dan orang-orang
sesudahnya. Asumsi seperti ini ternyata banyak dipertahankan oleh
banyak ulama tafsir atau penulis kitab-kitab ‘ulum al-Qur’an.
Pendekatan dan pola pikir seperti ini tentu cenderung bersifat taqlid
sehingga kurang mengembangkan inovasi dan kreatifitas umat
Islam. Pandangan tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Said Sukamta
yang menyatakan bahwa kebolehan berbeda dalam bacaan atau tulisan
al-Qur’an pada masa Nabi memang ada namun kebolehan itu bersifat
terbatas dan darurat. Untuk saat ini tidak boleh ada perbedaasn lagi.
B. Pendekatan Kritis memandang perbedaan dan penyimpangan
dalam bacaan atau penulisan al-Qur’an bukan sebagai hal yang alami,
tetapi justru mencurigai memang ada unsur-unsur kesalahan di
dalamnya. Kesalahan ini sangat mungkin dilakukan oleh tim penulis
mushaf bentukan khalifah Utsman yang diketuai oleh Zaid ibn Tsabit
atau juga dilakukan oleh individu sahabat tertentu ketika menulis
mushaf untuk pribadinya. Kesalahan ini misalnya penulisan kata shalat
dan zakat dengan huruf waw. Sedangkan hadis “Sesungguhnya
al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf ...” dianggap sebagai
hasil rekayasa untuk pembenaran terhadap kekeliruan yang terjadi.
Pandangan dan sikap kritis seperti ini dikemukakan antara lain oleh
beberapa intelektual dari Jaringan Islam Liberal atau JIL.
C. Pendekatan Fenomenologis melihat adanya perbedaan dalam
bacaan atau penulisan al-Qur’an memang terjadi sejak zaman Nabi.
Perbedaan tersebut ternyata memang dibolehkan secara langsung oleh
Nabi Muhammad SAW. Toleransi tersebut diberikan oleh Beliau dengan
mempertimbangkan adanya perbedaan di kalangan umat Islam dalam hal
pengetahuan, kemampuan atau bahasa dan perbedaan dialek bahasa Arab
di kalangan sahabat itu sendiri. Bagi kalangan fenomenologis ini,
kebolehan untuk berbeda dalam membaca al-Qur’an ini menunjukkan
tingginya toleransi Nabi dalam menghadapi perbedaan di kalangan umat
Islam. Perbedaan dalam hal yang sensitif saja, seperti bacaan dan
tulisan al-Qur’an, oleh Beliau masih diberi kelonggaran, apalagi
perbedaan dalam persoalan kecil lainnya yang tentu lebih dibolehkan.
Pendekatan fenomenologis ini lebih tepat untuk menciptakan hubungan
serasi dan harmonis di tengah berbagai perbedaan. Hal lebih penting
lainnya adalah kemampuan pandangan fenomenologis ini dalam
menciptakan kebebasan dan mendorong umat Islam untuk tetap kreatif
dan inovatif dalam membangun peradaban, sebagaimana dicontohkan oleh
keragaman banyak sahabat dalam menulis mushaf, dan sikap Nabi SAW
yang tetap mengakomodir berbagai perbedaan tersebut.
- PENGARUH TERHADAP DINAMIKA PEMIKIRAN ISLAM
Dua macam sikap sahabat dalam menanggapi perbedaan bacaan dan
penulisan al-Qur’an ternyata dalam jangka panjang menunjukkan atau
bahkan melahirkan dua macam pola pemikiran, yaitu:
- Pola pemahaman tekstual
Pola ini yang menganggap bacaan dan tulisan al-Qur’an harus seperti
yang dibaca Nabi, atau harus sesuai dengan bahasa Arab Quraisy yang
menjadi acuan mushaf Utsmani. Bacaan dan tulisan al-Qur’an harus
ta’abbudiy, tidak boleh berbeda dari contoh yang ditulis
dalam mushaf standar. Perbedaan dari ketentuan itu dianggap sebagai
penyimpangan yang menyesatkan dan harus diberantas. Sikap seperti ini
melahirkan pemikiran umat Islam yang sangat ketat dan kaku berpegang
kepada teks (sumber tertulis) sebagai satu-satunya sumber ilmu
pengetahuan dan cara untuk memperoleh kebenaran. Dalam sejarah hukum
Islam, pemahaman seperti ini dikembangkan oleh aliran Ahl al-Hadis
di wilayah Hijaz dengan imam Malik, al-Syafi’i, dan ulama ilmu
riwayah lainnya sebagai tokohnya. Pola seperti inilah yang
didengungkan oleh ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan yang populer
di kalangan umat Islam.
B. Pola pemahaman rasional – kontekstual
Pola ini memandang pembacaan dan penulisan ayat-ayat al-Qur’an
tidak harus persis sama seperti yang tertulis dalam mushaf Utsmani.
Dengan kata lain, pemahaman seperti ini membolehkan pembacaan
al-Qur’an dengan bacaan lafaz dan dialek atau tulisan Arab yang
berbeda dari mushaf Utsmani dengan syarat makna atau maksudnya tetap
sama. Kebolehan ini memiliki dasar pijakan sebagaimana boleh
meriwayatkan hadis Nabi secara makna (al-riwayah bil makna).
Kebolehan pembacaan seperti ini tetap memiliki dasar rujukan karena
masih mengacu kepada kebebasan yang pernah terjadi pada zaman Nabi
dan era sahabat. Pola pemahaman rasional ini dalam sejarahnya
berpusat di Iraq, yang dasar-dasarnya dibawa oleh sahabat Nabi
bernama Ibn Mas’ud (Abdullah bin Mas’ud). Dari murid atau
pengikut beliau inilah kemudian lahir ulama-ulama rasional dari
kalangan tabi’in yang terkenal sebagai ulama Ahl al-Ra’yi.
Perjalanan panjang sejarah Islam memperlihatkan wilayah Iraq, dengan
pusat-pusat kota seperti Baghdad, Kufah dan Basrah, menjadi tempat
subur lahirnya peradaban Islam dengan tokoh-tokoh intelektual muslim
ternama masa itu, baik dalam bidang fiqh, kalam, filsafat, tasawuf,
sains, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar